Mengenal NF1: Penyakit Langka yang Mengancam Masa Depan Anak-anak Indonesia
Tekno & SainsNewsHot
Redaktur: Redaksi

“Kenali dan Pahami Neurofibromatosis Tipe 1 (NF1)” menghadirkan para dokter spesialis anak, komunitas pasien, serta perwakilan pemerintah. Foto : Heru Sulistyono

Jakarta, tvrijakartanews – Ribuan anak di seluruh dunia, termasuk Indonesia, hidup dengan kondisi langka yang masih belum banyak dikenal masyarakat: Neurofibromatosis Tipe 1 (NF1). Diperkirakan 1 dari setiap 3.000 anak lahir dengan penyakit ini—yang sering kali tidak dikenali sejak dini, padahal dapat berdampak serius terhadap kesehatan, tumbuh kembang, hingga kualitas hidup anak.

Untuk meningkatkan kesadaran publik, sebuah acara edukatif bertajuk “Kenali dan Pahami Neurofibromatosis Tipe 1 (NF1)” digelar di Jakarta. Kegiatan ini sekaligus memperingati Hari Kesadaran Neurofibromatosis Sedunia yang jatuh pada 17 Mei, dan menghadirkan para dokter spesialis anak, komunitas pasien, serta perwakilan pemerintah.

Menurut dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan RI, sekitar 27 juta orang di Indonesia berisiko terkena penyakit langka, dan 50% di antaranya adalah anak-anak. “Yang mengkhawatirkan, 30% dari mereka tidak bertahan hidup hingga usia lima tahun. Ini adalah tantangan nyata yang perlu kita hadapi bersama,” tegasnya.

NF1 termasuk dalam kelompok penyakit langka yang paling sering ditemukan pada anak-anak. Gejalanya bisa muncul sejak usia dini, seperti bercak kecokelatan pada kulit (café-au-lait spots), benjolan di bawah kulit, hingga gangguan belajar. Karena sering terlihat seperti kondisi biasa, banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa gejala tersebut adalah tanda awal NF1.

“Padahal, jika dikenali sejak awal, NF1 dapat dipantau dan ditangani lebih baik,” jelas Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K), Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik. Ia menekankan bahwa NF1 adalah penyakit multisistemik yang tidak bisa ditangani oleh satu dokter saja, melainkan membutuhkan kerja sama berbagai spesialis sejak awal.

dr. Amanda Soebadi, Sp.A(K), Konsultan Neurologi Anak, menjelaskan bahwa tantangan terbesar bagi anak dengan NF1 bukan hanya fisik, tetapi juga mental dan sosial. “Anak-anak ini perlu pemantauan jangka panjang. Bila tidak ditangani, tumor pada jaringan saraf bisa berkembang dan menyebabkan nyeri, gangguan penglihatan, bahkan gangguan motorik,” katanya.

Sementara itu, dr. Ganda Ilmana, Sp.A(K), Subspesialis Hematologi Onkologi Anak, menambahkan bahwa operasi sering kali menjadi pilihan jika tumor menekan organ vital. Namun, untuk beberapa kasus yang tidak bisa dioperasi, pilihan terapi sangat terbatas. Inilah yang membuat deteksi dini menjadi semakin penting—untuk mencegah komplikasi berat sejak dini.

Meskipun tantangannya besar, harapan mulai tumbuh. Kini, tersedia terapi yang dapat membantu anak-anak dengan kondisi tumor saraf yang sulit dioperasi. Terapi ini bertujuan mengurangi ukuran tumor, meringankan gejala, dan memperbaiki fungsi tubuh anak. Kehadiran opsi pengobatan ini menjadi titik terang baru dalam upaya meningkatkan kualitas hidup anak dengan NF1 di Indonesia.

Namun, pengobatan saja tidak cukup. Menurut Peni Utami, Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia, yang juga mewakili keluarga pasien, banyak anak dengan penyakit langka yang masih menghadapi kesulitan dalam mendapatkan layanan medis, pendidikan, dan dukungan sosial. “Kami berharap, anak-anak dengan penyakit langka tidak lagi merasa sendirian. Dengan kepedulian bersama, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung,” ujarnya.

Acara ini menjadi momentum penting untuk mendorong peningkatan literasi masyarakat tentang penyakit langka pada anak. Edukasi bagi orang tua, guru, dan tenaga kesehatan sangat dibutuhkan agar tanda-tanda NF1 tidak lagi diabaikan.

Anak-anak dengan penyakit langka seperti NF1 membutuhkan lebih dari sekadar pengobatan—they need to be seen, understood, and supported. Karena setiap anak berhak atas masa depan yang sehat, tanpa stigma, tanpa keterlambatan diagnosis, dan tanpa kesulitan mengakses pengobatan.